Eklin Amtor de Fretes, Merawat Perdamaian Melalui Cerita

Eklin Amtor de Fretes, Merawat Perdamaian Melalui Cerita
Sumber :
  • SATU Indonesia

Teknodaily – Bercerita atau storytelling telah menjadi alat ampuh untuk memelihara nilai, bahkan lebih efektif daripada sekadar instruksi langsung. Salah satu sosok yang memanfaatkan kekuatan ini adalah Eklin Amtor de Fretes, seorang pendongeng kreatif asal Maluku dan peraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2020 dari Astra.

Mana yang Terbaik untuk Kulit Kering, Body Lotion atau Body Oil?

Ia tidak hanya mendongeng, tetapi menggunakan cerita untuk menyatukan masyarakat, terutama anak-anak dan menghapus segregasi sosial pascakonflik Maluku.

Berawal dari Luka Konflik Maluku 1999–2002

Konflik Maluku 1999–2002 tidak hanya dikenal sebagai konflik antaragama, tapi juga berasal dari masalah sosial dan politik. Sudah sampai ribuan korban berjatuhan, bahkan setelah masalah mulai mereda, masyarakat tetap berselisih agama maupun etnis. Segregasi pun berlangsung hingga ke pola pikir, sehingga dengan cepat memengaruhi generasi muda, termasuk anak-anak yang tumbuh dengan toleransi yang terdistorsi.

Mariana Yunita Mendobrak Keheningan Edukasi Kesehatan Reproduksi di NTT

Eklin Amtor de Fretes, pendongeng dan ventriloquist Indonesia

Photo :
  • Instagram/kak_eklin

Keresahan terhadap dampak konflik ini menggerakkan Eklin untuk mengambil langkah nyata. Ia melihat bahwa cerita-cerita yang berkembang pascakonflik terlalu satu dimensi dan memperkuat prasangka. Dengan itu, ia berupaya membangun ruang perjumpaan lintas iman melalui kegiatan Youth Interfaith Peace Camp pada 2017.

Rekomendasi 5 Smartphone High End dengan Kamera Premium Setara DSLR

“Kami mengumpulkan 30–40 orang untuk berkemah selama 3 hari dan belajar tentang perdamaian lewat pendidikan nilai,” kata Eklin. Meskipun awalnya bergerak tanpa dukungan dana, Eklin berjuang secara mandiri untuk menjalankan misi sosial ini.

Komunitas Jalan Merawat Perdamaian (JMP)

Eklin memahami bahwa perdamaian bukan tugas individu, melainkan tanggung jawab bersama. Dengan semangat itu, ia mendirikan Jalan Merawat Perdamaian (JMP), sebuah komunitas yang berisi pemuda-pemuda lintas agama. Melalui JMP, Eklin merangkul generasi muda untuk terlibat dalam kegiatan sosial berbasis pendidikan nilai. Salah satu metode andalannya adalah storytelling, khususnya untuk anak-anak.

Menurut Eklin, dongeng memiliki kekuatan untuk menyampaikan nilai-nilai kebaikan tanpa adanya kesan menggurui. Dengan begitu, anak-anak dapat belajar tentang cinta kasih, persaudaraan, dan toleransi dengan cara yang menyenangkan.

“Dengan dongeng, kita bisa mengajarkan anak-anak tanpa harus menggurui,” ujar Eklin. “Mereka belajar damai, cinta kasih, dan menghargai sesama lewat cerita.”

Meski kini akrab dengan dunia anak, Eklin tidak selalu pintar berkomunikasi dengan mereka. Awalnya, ia merasa canggung dan tidak tahu harus bagaimana menyusun cerita. Tapi, dengan ketekunannya, ia belajar mendongeng secara autodidak, bahkan sampai membeli boneka bernama Dodi (Dongeng Damai) seharga Rp 1 juta dan mempelajari teknik ventriloquist (mengeluarkan suara tanpa menggerakkan bibir) lewat YouTube agar ceritanya lebih menarik.

Namun, perjuangannya tidak selalu berjalan mulus. Saat pertama kali mendongeng di beberapa daerah, Eklin justru dituduh melakukan kristenisasi. Tuduhan itu muncul karena ia merupakan calon pendeta dan mendongeng di komunitas yang mayoritasnya beragama Islam.

“Saya diusir pada 1 Januari,” kenang Eklin. “Namun, saya tidak menyerah. Pada 2 Januari, saya melanjutkan mendongeng di daerah lain dengan semangat yang sama.”

Penolakan tidak menyurutkan langkah Eklin. Ia justru semakin bertekad membawa dongeng ke tempat-tempat yang sulit dijangkau, termasuk daerah konflik seperti Saleman dan Horale di Pulau Seram. Di sana, ia berhasil mempertemukan anak-anak dari komunitas Islam dan Kristen yang sebelumnya terpisah selama bertahun-tahun.

“Saya membawa anak-anak Islam ke wilayah Kristen dan sebaliknya. Mereka bersatu dengan dongeng. Mereka bisa berpelukan dan tertawa bersama,” ujar Eklin.

Setelah mendengar dan merasakan dampak positif dari aktivitas Eklin, masyarakat mulai menerima kehadirannya. Kini, anak-anak justru berkumpul sendiri untuk mendengarkan dongengnya, tanpa perlu dicari-cari lagi.

Program Belajar di Rumah Dongeng dan Tantangan Komunitas

Pada 2019, Eklin dan JMP meluncurkan program Belajar di Rumah Dongeng. Program ini muncul karena banyaknya buku-buku dongeng yang ia terima sebagai donasi. Tapi karena tidak lagi muat di rumahnya, ia mendirikan Rumah Dongeng Damai di atas tanah keluarga. Selain menjadi perpustakaan, tempat ini juga menjadi ruang belajar bagi guru PAUD, guru sekolah Minggu, dan siapa pun yang ingin belajar mendongeng.

Menurut Eklin, mendongeng harus dilestarikan karena cerita memiliki kekuatan untuk membangun kedekatan emosional. Kedekatan itu nantinya dapat menjadi pondasi bagi persatuan yang kokoh.

Rumah Dongeng Damai masih beroperasi, tetapi beberapa relawan JMP harus meninggalkan Ambon karena pekerjaan atau tugas. Begitu juga dengan Eklin yang kini menjalani tugas di daerah lain sebagai pendeta.

Meski menghadapi banyak tantangan, Eklin dan Dodi terus menyebarkan nilai-nilai positif melalui dongeng. Mereka tidak pernah lelah berkeliling dari sekolah ke sekolah, dari kampus ke kampus, dan bahkan mendongeng di rumah sakit untuk menghibur anak-anak yang sakit. Hasil dari kegiatan mendongeng pun sering kali disumbangkan untuk membantu biaya pengobatan anak-anak yang membutuhkan.

“Dongeng bukan hanya untuk anak-anak di rumah ibadah, tetapi juga untuk mereka yang sakit. Saya mendongeng dari satu tempat ke tempat lain untuk membantu anak-anak yang membutuhkan,” ujar Eklin.