KBA Tanon, Desa Menari yang Kian Berseri
- YT Satu Indonesia
Teknodaily – Ada yang istimewa di lereng Gunung Telomoyo, tempat di mana embun pagi bersanding mesra dengan tarian. Di sana, berdiri sebuah desa bernama Tanon, yang kini dikenal sebagai Desa Menari—sebuah tempat di mana budaya dan harapan berkelindan dalam ritme yang harmonis.
Desa ini tidak hanya hidup dalam langkah-langkah tarian, tetapi juga dalam semangat kebersamaan dan transformasi. Dari langkah-langkah kecil para penari hingga program besar Kampung Berseri Astra (KBA), Tanon menjadi bukti bahwa perubahan tak selalu butuh kemewahan, tetapi yang utama adalah komitmen dan keberanian bermimpi.
Sebuah Mimpi Besar Tanon di Antara Stigma dan Penolakan
Perjalanan menuju kejayaan Desa Menari tidak dimulai dengan hamparan karpet merah. Pada awalnya, banyak warga memandang skeptis rencana Trisno—sosok penggerak di balik perubahan ini. Masyarakat masih lekat dengan mitos-mitos lama.
Namun, Trisno tak gentar. Sebagai sarjana pertama di Tanon, ia memutuskan kembali ke tanah kelahirannya, menyadari bahwa sejatinya pendidikan tak hanya berarti keluar dari desa, tetapi juga kembali dan membangun desa.
Dengan pendekatan yang sabar, ia mendatangkan akademisi untuk membuka wawasan masyarakat. Perlahan, tembok stigma itu runtuh. Trisno meyakinkan warga bahwa keberhasilan bukanlah hasil dari belas kasihan, melainkan buah dari karya nyata. Seperti pepatah yang ia gemakan, “Berkarya lebih baik daripada meminta.” Dari keyakinan ini, Desa Menari perlahan mulai berdiri tegak di atas pondasi harapan dan kerja sama.
Pilar-Pilar yang Menguatkan Desa Menari Tanon
Dalam semangat Kampung Berseri Astra (KBA), Desa Menari menyatukan empat pilar penting—pendidikan, kesehatan, lingkungan, dan kewirausahaan—menjadikannya desa yang tak hanya indah dilihat, tetapi juga produktif dan berkelanjutan.
Di bidang pendidikan, Omah Cikal berdiri menjadi perpustakaan desa, tempat anak-anak berkenalan dengan dunia melalui buku. Di sini, mereka tak hanya belajar membaca tetapi juga belajar membangun desa. Wi-Fi gratis tersedia, memudahkan mereka mengakses ilmu dan menyelesaikan tugas sekolah.
Pendidikan di Desa Menari bukan sekadar angka di rapor, tetapi juga pelajaran tentang mencintai alam. Anak-anak diajarkan memilah sampah dan membuat ecobricks, agar sedari dini mereka paham bahwa sampah bukanlah musuh, melainkan sumber kreativitas.
Pilar kesehatan hadir melalui kegiatan Srawung Posbindu—monitoring kesehatan bagi semua lapisan usia, dari anak-anak hingga lansia. Uniknya, Desa Menari juga memanfaatkan daun alpukat dari kebun-kebun warga sebagai obat hipertensi. Kesehatan tak hanya dibangun lewat obat-obatan, tetapi juga melalui kebiasaan baik. Bahkan, desa ini membuat inovasi Greenis—kue hijau berbahan bayam kering—agar anak-anak dapat menikmati sayur dalam bentuk yang menyenangkan.
Di ranah lingkungan, Desa Menari memusatkan perhatian pada konservasi mata air dan perbaikan sanitasi. Lingkungan yang bersih dan sehat bukan sekadar kebutuhan, tetapi juga bagian dari identitas desa. Kesadaran ini menjadikan warga Tanon penjaga alam, layaknya penari yang menjaga irama. Setiap gerakan kecil, seperti tidak membuang sampah sembarangan, adalah bagian dari tarian besar menjaga bumi.
Kewirausahaan pun tak luput dari perhatian. Desa ini mengembangkan pasar rakyat, memproduksi tahu, dan bahkan membudidayakan kaktus yang dijual secara daring. Tak ketinggalan, sabun susu khas Desa Menari menjadi oleh-oleh unik yang dibawa pulang para wisatawan. Usaha-usaha kecil ini mengajarkan warga bahwa setiap potensi, sekecil apa pun, adalah peluang untuk berkembang.
Tarian Topeng Ayu, Simbol Ketahanan dan Kreativitas
Di Desa Menari Tanon, tarian bukan sekadar hiburan. Tarian Topeng Ayu adalah warisan yang menyimpan cerita masa lampau. Pada masa penjajahan, ketika latihan beladiri dilarang, para pejuang bersembunyi di balik gerakan tarian ini. Gerakan-gerakan indah itu sesungguhnya adalah teknik beladiri yang disamarkan. Melalui tarian, warga Desa Menari belajar tentang ketahanan dan kecerdikan—bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada cara untuk bertahan tanpa kehilangan jati diri.
Festival Lereng Telomoyo Menyambut Dunia
Keberhasilan Desa Menari menarik ribuan wisatawan setiap tahunnya. Sekitar 26 rumah warga kini difungsikan sebagai homestay, tempat para pengunjung merasakan kehangatan Desa Menari. Festival Lereng Telomoyo, yang digelar pertama kali pada 2017 dan berlanjut hingga 2019, menjadi ajang untuk memperkenalkan desa ini ke dunia luar. Festival ini bukan sekadar perayaan budaya, tetapi juga pernyataan bahwa Desa Menari siap bersaing di panggung pariwisata nasional dan internasional.
Dengan tema “Sumunaring Telomoyo, Semangat dalam Mewujudkan Keseimbangan Hidup,” festival ini mengajak setiap pengunjung untuk menemukan makna keseimbangan—antara modernitas dan tradisi, antara manusia dan alam. Seperti tarian yang membutuhkan harmoni antara gerak dan musik, Desa Menari mengajarkan bahwa kehidupan pun memerlukan keseimbangan.
Desa Menari Tanon, Mimpi yang Terus Menari
Kisah Desa Menari adalah bukti bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Modal awal Trisno hanya Rp200.000, tetapi dengan komitmen dan kerja sama warga, desa ini berhasil meraih keuntungan ratusan juta rupiah dalam tiga tahun. Kini, Desa Menari tidak hanya menjadi tempat wisata, tetapi juga simbol harapan bahwa dengan mimpi dan kerja keras, tidak ada yang tidak mungkin.
Di masa depan, Desa Menari Tanon berharap generasi mudanya tetap berpegang teguh pada akar budaya mereka. Harapannya, anak-anak yang kini mendapat beasiswa bisa kembali dan melanjutkan perjuangan Trisno membangun desa dengan hati dan visi. Seperti sebuah tarian yang tak pernah usai, Desa Menari akan terus bergerak maju, mengikuti irama zaman tanpa melupakan harmoni masa lalu.
Dengan tarian, pendidikan, kesehatan, dan kewirausahaan sebagai porosnya, Desa Menari kini bukan hanya tempat, tetapi juga inspirasi. Sebuah kisah tentang bagaimana desa kecil di lereng gunung bisa bersinar dengan caranya sendiri—menari, dan tak pernah lelah berseri.