China Manipulasi Arkeologi untuk Klaim Tanah Suku Uighur?

Reruntuhan bekas Ibu Kota Kerajaan Jushi.
Sumber :
  • ANTARA/M. Irfan Ilmie.

Teknodaily –  Arkeologi menyediakan dasar untuk menemukan masa lalu seseorang. Semua bangsa mengandalkan arkeologi untuk "menggali" jalan mereka untuk menemukan sejarah dalam bentuk bangunan, tembikar, dan, dalam beberapa kasus, monumen-monumen besar.

Namun, seperti dilansir Bitter Winter, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) unik karena disinyalir menggunakan arkeologi sebagai senjata untuk mengklaim bahwa temuan-temuan tersebut adalah bukti bahwa wilayah yang diduduki adalah milik mereka.

Tren ini tentu saja sejalan dengan manipulasi "tak kasat mata" RRT terhadap batas-batas geografis untuk memaksakan "fait accompli" kehendaknya yang memiliki kekuatan yang tak tertandingi. Faktanya, sejarah dan geografi selalu berjalan beriringan.

Dalam kasus Xinjiang, yang oleh penduduk non-Han disebut Turkestan Timur, dan Tibet, upaya manipulasi RRT terlihat jelas. Sementara sisa-sisa yang ditemukan di daerah-daerah ini menarik dan memberikan pandangan sekilas ke masa lalu, mereka tidak berbuat banyak untuk memperkuat klaim historis Beijing atas wilayah tersebut.

Arkeolog RRC sedang bekerja di situs Mo

Photo :
  • Weibo.

Tepat di luar Kashgar, di Xinjiang, terdapat sebuah stupa Buddha kuno di tengah gurun. Bentuknya yang kerucut memberinya nama lokal "Mo'er," yang berarti "cerobong asap" dalam bahasa Uyghur. Para ahli menilai bahwa stupa dan kuil di sebelahnya dibangun sekitar 1.700 tahun yang lalu dan beberapa abad kemudian situs tersebut terlupakan.

Para arkeolog mulai menggali situs tersebut pada tahun 2019 dan menemukan beberapa peralatan batu, koin tembaga, dan pecahan patung Buddha. Sejauh ini baik-baik saja. Namun selanjutnya muncul pernyataan biasa Tiongkok bahwa situs arkeologi ini "membuktikan" bahwa Xinjiang secara historis telah menjadi bagian dari Tiongkok.