Elon Musk Dikecam, Starlink Jadi Sampah Antariksa
- pixabay
"Kita tidak boleh terburu-buru meluncurkan satelit sebanyak ini tanpa memastikan bahwa manfaatnya sebanding dengan potensi dampak negatif yang bisa terjadi,” menurut PIRG yang dikutip dari Futurism, Rabu, 14 Agustus 2024.
Kritik ini tidak hanya ditujukan kepada SpaceX saja, meskipun perusahaan tersebut memiliki lebih dari setengah dari seluruh satelit aktif yang ada di orbit.
Negara lain seperti China, juga mulai meluncurkan satelit-satelit baru dalam jumlah besar. Sebagai contoh, China baru-baru ini meluncurkan satelit pertama dari proyek "Thousand Sails" yang direncanakan akan bersaing dengan Starlink. Proyek ini akan menambah 15.000 satelit baru di orbit rendah Bumi (LEO).
Selain itu, Amazon juga merencanakan proyek serupa dengan konstelasi satelit bernama Project Kuiper. Semua ini menimbulkan kekhawatiran bahwa logam-logam dari ribuan satelit yang mengorbit ini dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi lingkungan.
Sebuah penelitian dari University of Southern California bahkan menunjukkan bahwa satelit-satelit ini bisa menyuntikkan polutan berbahaya seperti aluminium oksida ke atmosfer saat terbakar saat masuk kembali ke Bumi. Polutan ini bisa berkontribusi pada penipisan lapisan ozon, yang sangat penting untuk melindungi kita dari radiasi UV Matahari.
Lebih buruk lagi, satelit-satelit ini memiliki masa pakai hanya sekitar lima tahun. Artinya, SpaceX harus terus meluncurkan penggantinya untuk menjaga agar jaringan tetap berjalan. Para kritikus menyebut pendekatan ini sebagai "sampah antariksa" karena satelit-satelit ini dianggap setara dengan "plastik sekali pakai" yang tidak dapat digunakan kembali.